Tuesday, August 12, 2014

Tri Mumpuni; Pembangkit Ekonomi Desa


Berawal dari konsep yang sederhana, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) bisa menjadi ‘senjata’ dalam memberdayakan masyarakat desa.


“Ayo kalian ikut mobil saya saja. Kita berangkat bersama ke Cinta Mekar, masih muat toh mobilnya,” seru pak Odius kepada saya dan Riki yang sedang sibuk membenahi tas kameranya agar air hujan tak mudah masuk. Kami segera mengiyakan sambil berjalan ke arah mobil Toyota Innova berwarna hitam yang diparkir di depan rumah singgah milik Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) . Bangunannya cukup besar, pekarangannya luas. Hampir setiap akhir pekan rumah tersebut digunakan oleh seluruh staff IBEKA sebagai tempat berkumpul untuk membicarakan berbagai persoalan terkait program pemberdayaan masyarakat yang sedang mereka jalankan.  

Secara kebetulan, saya bertemu dengan Pak Odius di rumah itu. Ia adalah seorang kontraktor yang berasal dari Papua. Ia datang ke IBEKA bersama adiknya, dengan maksud untuk mengetahui seluk beluk teknologi yang digunakan dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Rencananya, ia ingin membangun sebuah pembangkit listrik skala kecil dengan mengandalkan aliran sungai yang ada di desanya. Selama bertahun-tahun desanya  belum memiliki jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara.

Dari desa Cicadas kami berangkat menuju Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang terletak di desa Cinta Mekar, kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit berkendara menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan saya banyak bertanya mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan sistem kerja pembangkit listrik kepada dua staff IBEKA yang ikut menemani, Christianto dan Gunawan.

Mereka telah bertahun-tahun bergabung bersama IBEKA, menjalankan puluhan program pembangunan pembangkit listrik di desa-desa. Dari desa di pedalaman Aceh hingga ke Papua sudah pernah mereka datangi. Sebagai staff IBEKA yang terhitung senior, Christianto dan Gunawan  memiliki spesialisasi dan tugas yang sangat diandalkan. Dalam sebuah proyek pembangunan pembangkit, Christianto selalu mendapat tanggung jawab di bidang konstruksi yang berkaitan dengan pemasangan generator dan turbin. Sedangkan Gunawan merupakan salah satu anggota tim sosial IBEKA yang tugasnya berhubungan dengan pemberdayaan dan pengkondisian masyarakat suatu desa sebelum proyek pembangunan pembangkit listrik berjalan.

“Pembangkit listriknya ada di sebelah sana, pak. Tepat di belakang bangunan itu. Nanti kita dapat melihat aliran sungai Ciasem dari situ,” ucap Gunawan kepada kami semua yang ada di dalam mobil sambil menunjuk ke arah sumber suara air mengalir yang terdengar sayup. Jalan menuju area pembangkit listrik tidak terlalu lebar. Mobil yang kami tumpangi pun harus berjalan pelan  untuk menghindari lubang di sepanjang jalan. Sempat satu kali ban mobil tergelincir di bagian jalan yang masih berupa tanah. Hujan mengguyur kota Subang tanpa henti, mengubah sebagian jalan menjadi berlumpur.

Sesampainya di sana, saya langsung diajak mengelilingi pembangkit listrik oleh Christianto. Letaknya tepat di pinggir sungai Ciasem. Ia  Ia menerangkan secara detil bagaimana aliran air sungai Ciasem bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Cinta Mekar. Awalnya,  air dari sungai dibendung, kemudian dialirkan melalui parit. Kira-kira 400 meter dari bendungan, sebagian air dialirkan ke dalam bak penampungan dan sebagian lagi dialirkan untuk keperluan irigasi.

Air dalam bak penampungan kemudian di saring dan dialirkan ke dalam bak penenang. Bak penenang berfungsi untuk menenangkan air agar tidak terjadi kumparan air bisa menyebabkan turbin bekerja tidak efisien. Air dalam bak penenang kemudian dialirkan dari ketinggian 18,6 meter melalui penstock-dua pipa besar sepanjang 55 meter dan berdiameter 580 mm- menuju power house.

Di dalam power house terdapat dua turbin dan satu generator. Aliran air dalam penstock membuat putaran pada turbin, kemudian turbin menggerakan generator yang berfungsi untuk mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. “Putaran dua Turbin ini nantinya akan menggerakan generator berkapasitas 160 Kva yang bisa menghasilkan listrik maksimal 120 kilowatt. Listrik tersebut akan disimpan dalam sebuah control panel sebelum dijual ke PLN, sisanya bisa dialirkan ke rumah-rumah warga yang tak sanggup membeli listrik dari PLN. Sesederhana itu prosesnya,” jelas Christianto.

***

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PMLTH) Cinta Mekar menghabiskan dana sebesar 225 ribu dolar AS. Untuk mewujudkan proyek ini, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) memberikan dana hibah sebesar 75 ribu dolar. Sementara, IBEKA mengeluarkan jumlah yang sama untuk  kepentingan diseminasi dan fasilitas training. Sisanya, berasal dari investasi PT Hidro Piranti. dibangun dari dana hibah keberhasilan IBEKA mendapatkan dana hibah dari sebesar 75 ribu dolar AS. Separuhnya lagi berasal dari investasi PT Hidro Piranti. Pada 17 April 2004, pembangkit tersebut akhirnya diresmikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro.  

Meski telah memiliki pembangkit sendiri, namun pasokan listrik sebagian besar warga Cinta Mekar untuk menjalankan rutinitas sehari-hari tetap berasal dari PLN. Seluruh hasil produksi PLTMH Cinta Mekar dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan harga Rp 432,00 per Kwh. Setelah beroperasi, PLTMH ini menerima pemasukan sebesar sekitar Rp 25 juta per bulan. Setelah dikurangi dengan biaya operasional, gaji operator, biaya pemeliharaan, dan bagi hasil dengan PT Hidro Piranti, maka keuntungan bersih yang didapat mencapai 12 juta rupiah per bulan.

Beberapa tahun belakangan, jenis pembangkit dengan mengandalkan tenaga air skala kecil yang menghasilkan output di bawah 500 kilowatt telah menjadi andalan untuk memberikan pasokan listrik bagi daerah pelosok di Indonesia. Pada awalnya pembangkit mikrohidro dibangun guna menerangi desa-desa yang belum dialiri listrik, namun sejak tahun 1999 konsepnya berkembang. Puluhan pembangkit, termasuk yang ada di Cinta Mekar, diberdayakan untuk mendorong ekonomi mandiri masyarakat desa. Konsep tersebut lahir dari kepala seorang perempuan yang terkenal dengan julukan “Si Penerang Desa”. Dengan kegigihannya, ia berhasil membangun PLTMH di 78 desa terpencil dan mengajak masyarakatnya lebih mandiri secara ekonomi. Perempuan yang selalu tampil berjilbab itu bernama Tri Mumpuni.

Bisnis sosial berbasis kerakyatan, begitulah ia menyebutnya, merupakan kunci keberhasilan pembangunan pembangkit listrik di banyak desa, termasuk Cinta Mekar. Sejak awal masyarakat dilibatkan dalam pembangunan PLTMH. Tim sosial IBEKA mendampingi dalam kegiatan sosial-kemasyarakatannya, mulai dari pencatatan data awal, pembentukan koperasi, pembentukan kapasitas dan kepemilikan. Secara teknis, pembangkit harus didesain secara sempurna selain faktor kemampuan organisasi dari lembaga lokal harus benar-benar disiapkan.  

Setelah pembangkit berdiri, masyarakat tidak hanya tinggal diam dan menikmati hasilnya saja. Mereka diberi pelatihan untuk mengelola seluruh perawatan pembangkit, pengorganisasisan, hingga pola penagihan terhadap pelanggan. Seluruh proses pengambilan keputusan misalnya mengenai alokasi pemasukan maupun penyusunan klasifikasi penduduk yang berhak mendapat bantuan ditentukan oleh musyawarah penduduk. 

Dana bantuan yang berasal dari penjualan listrik ke PLN dikelola oleh Koperasi Desa Cinta Mekar untuk kemudian dimanfaatkan bagi kesejahteraan warga. Prioritas penggunaan dana ditentukan melalui musyawarah. Umumnya masyarakat menginginkan pemasukan desa digunakan untuk membiayai tarif listrik 122 rumah yang tak mampu, beasiswa anak sekolah, pelatihan keterampilan kerja bagi anak-anak muda, penyediaan sarana kesehatan, modal untuk keluarga miskin yang ingin membuka usaha, dan pembangunan infrastruktur desa. 

***

Sudah sekitar dua puluhan tahun ini Tri Mumpuni mendedikasikan diri untuk memberdayakan masyarakat desa. Bersama suaminya, Iskandar Kuntoadji, ia mempelopori pembangunan pembangkit listrik mikrohidro di daerah miskin dan terpencil. Ide ini bermula dari sebuah perjalanan bersama suaminya ke desa-desa yang belum terjangkau  listrik dari PLN. Mereka melihat, kekurangan itu bisa diakali dengan memanfaatkan air terjun untuk menghasilkan listrik.

Menurut Perempuan kelahiran Semarang 6 Agustus 1964 ini, listrik merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa. Semua kegiatan perekonomian bergerak dengan mengandalkan sumber daya listrik yang ada. Sejak pertama kali ditemukan, listrik telah memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia.  Tidak bisa dipungkiri jika seluruh aktivitas keseharian setiap orang saat ini pasti membutuhkan listrik. Permasalahannya, tidak semua warga negara di Indonesia mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya listrik.

“Mereka yang hidup di kota-kota besar mungkin tidak menganggap listrik sebagai barang mewah. Mereka bisa mendapatkan listrik dengan mudah. Tapi mereka tidak sadar di banyak daerah terpencil, ada orang-orang yang memiliki kebutuhan dasar yang sama, namun tidak memiliki akses untuk mendapatkan listrik. Saya rasa tidak adil jika di kota kita mudah mendapatkan listrik, harganya disubsidi. Artinya dalam proses produksi untuk bisa menghasilkan listrik, pemerintah turun tangan sedemikian rupa, padahal yang menikmati orang-orang mampu. Kok sangat tidak adil ya kehidupan di Indonesia ini,” ujarnya.

Sebenarnya ide untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam desa dengan membangun pembangkit listrik sudah dimulai lebih dulu oleh suaminya. Sekitar tahun 1979, Iskandar Kuntoadji bersama aktivis mahasiswa ITB lainnya mendirikan Yayasan Mandiri karena adanya peraturan dari pemerintah yang melarang mahasiswa untuk berpolitik di dalam kampus. Masa-masa itu pemerintah membubarkan segala bentuk organisasi Dewan Mahasiswa dengan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).

Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk mengabdi pada rakyat selain bergerak di luar kampus, turun ke desa-desa dan membantu penerapan teknologi sederhana dan tepat guna yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Seiring berjalannya waktu, Yayasan Mandiri berkembang menjadi ruang bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi. Selepas lulus dari ITB, Iskandar tetap menjalankan ide penerapan teknologi tepat guna dan mendirikan IBEKA bersama Tri Mumpuni.

Sebelum Tri Mumpuni memutuskan untuk memusatkan seluruh perhatiannya pada pembangunan desa terpencil bersama IBEKA, ia sudah lebih dulu bekerja di salah satu lembaga sosial milik PBB yang mengurusi persoalan warga miskin perkotaan. Tugasnya waktu itu adalah mencari dana untuk program pemberdayaan masyarakat miskin di Jakarta dan memperbaiki rumah-rumah kumuh lengkap dengan fasilitas MCK-nya.

Ternyata setelah beberapa lama terjun dalam program tersebut tidak membuat Puni—demikian ia akrab disapa--merasa all out. Tembok besar menghalangi langkahnya. Seluruh energi, pikiran dan segala daya upaya yang telah ia berikan tidak memberikan dampak yang cukup signifikan untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

“Di Indonesia ini kalau ingin membangun kota ada istilahnya money driven development. Pembangunan yang ditentukan oleh arah orang yang punya uang. Contoh sederhana, awal tahun 1990-an di DKI Jakarta. Saat itu kami mencoba membangun daerah untuk permukiman penduduk. Tiba-tiba ada investor yang tertarik ingin mendirikan sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu. Dengan mudahnya, rencana awal berubah cepat. Jadi siapa yang memiliki uang itulah aktor terkuat yang bisa merubah bentuk wajah kota di Indonesia,” ungkapnya. Tidak lama setelah kejadian itu, Ia pun memutuskan untuk berhenti.

Suatu hari, Puni melihat pekerjaan suaminya yang sering pergi ke desa-desa, membangun jaringan listrik. Ia terperanjat begitu melihat sebuah desa yang memiliki potensi yang luar biasa untuk dimanfaatkan, namun tidak memiliki infrastruktur yang mendukung untuk mengembangkan potensi tersebut. Bahkan jaringan listrik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah pun belum ada. Pada malam hari anak-anak harus menggunakan sumber penerangan dari lilin atau lampu petromak untuk belajar. Ibu-ibu harus menggotong kayu bakar dari hutan desa, berjalan puluhan kilometer, supaya mereka bisa menyiapkan makanan untuk keluarganya. 

“Lalu saya terpikir untuk ikut mengerjakan apa yang suami saya kerjakan, membangun jaringan listrik di pedesaan. Nggak tahunya effort saya itu malah lebih berlipat. Artinya, dia membuat konsep dan desain, tapi saya yang ngotot ini harus terjadi. Uangnya dari mana? Saya bilang, tidak usah dipikirkan. Kalau niat kita baik, uang itu pasti akan datang dengan sendirinya,” tuturnya sambil tersenyum. Sesederhana itu ia memulainya, tapi kemudian hal sederhana itu menjadi tekad yang luar biasa.

Tahun 1991, Puni bersama sekelompok petani di desa Curugagung, Subang, Jawa Barat, membangun proyek PMLTH pertama yang menghasilkan listrik 13 Kilowatt dan menerangi sebanyak 121 rumah. Modal awal 44 juta Rupiah merupakan hasil urunan para petani dengan cara meminjam ke bank. Sisanya dibantu oleh IBEKA. Suami Puni-lah yang membuatkan turbin. Pembangkit listrik tersebut dikelola oleh seorang petani. Listrik yang dihasilkan kemudian dijual ke semua tetangganya. Keuntungannya digunakan untuk membayar utang bank dan pemasukan tambahan bagi si Petani.

***

Tiga tahun kemudian, karena pertimbangan politik dan ada satu partai politik yang tidak pernah menang dalam pemilihan, akhirnya Bupati memaksa PLN untuk masuk ke daerah itu. Begitu listrik PLN sudah masuk ke desa itu, sebagain besar warga beralih membeli dari PLN. Akibatnya petani yang ditugasi untuk bertanggungjawab dalam pengelolaan PMLTH di Curugagung wafat terkena serangan jantung lantaran tak kuat bersaing dengan listrik dari PLN yang harganya jauh lebih murah.

Puni dan suaminya tidak tinggal diam melihat hal itu. Selama tiga tahun, mereka melobi Kementerian Energi agar PLN membeli listrik dari pembangkit listrik yang dikelola oleh masyarakat desa. Tahun 1994, Iskandar mengirimkan surat usulan kepada pemerintah, agar pemerintah memiliki kewajiban untuk membeli listrik dari pembangkit-pembangkit skala kecil. Namun surat itu tidak ditanggapi.

Puni tidak patah arang. Ia terus mendatangi orang-orang yang memegang kebijakan terkait, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, dan menjelaskan agar sistem pembelian listrik dari pembangkit mikro hidro diterapkan di Indonesia. Usahanya baru membuahkan hasil  setelah menjalani perjuangan selama 5 tahun yang melelahkan. Pada Agustus 1999, untuk pertama kalinya dalam sejarah, PLN membeli listrik dari rakyat. Sistem penjualan listrik ke PLN dan masuk jaringan nasional tersebut diatur dalam Kepmen ESDM 1122 K/30/MEM/2002 tentang Skema Pembangkit Listrik Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi Terbarukan. Dan Puni ikut membantu dalam merumuskan peraturan itu.

“Keinginan saya sederhana. PLN bersedia membeli listrik dari rakyat. Jadi, saya ketuk pintu ruang Dirut PLN, saya datang ke kantornya setiap hari, sampai semua yang ada di sana muak melihat muka saya. Saya tidak akan berhenti datang, sebelum mereka menyetujui ide saya tersebut. I am a woman dan saya sabar menunggu sampai bisa mendapatkan apa yang saya inginkan,” ujar perempuan yang mendapatkan penghargaan Ashoka Fellow tahun 2006 berkat usahanya mewujudkan sistem pembelian listrik dari pembangkit yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa.

“Jika anda memperjuangkan sesuatu hal di Indonesia, maka perlu konsistensi, fokus, dan memiliki endurance yang kuat,” tambahnya. 

***

Begitu peraturan disahkan, Puni bercita-cita agar seluruh desa di Indonesia memiliki PLTMH sendiri, jadi masyarakat desa bisa memiliki pemasukan untuk kas desanya. Baginya, PLTMH bisa menjadi alat yang powerful untuk menciptakan kesejahteraan yang merata di seluruh Indonesia. Sejak berhasil membangun PLTMH Curugagung, Puni bersama IBEKA melanjutkan misinya itu ke seluruh Indonesia.

Sudah 78 pembangkit yang berhasil dibangun dan 9 diantaranya menghasilkan listrik untuk dijual ke PLN, salah satunya adalah pembangkit di desa Cinta Mekar. Dalam setahun Puni bisa mengerjakan 2-5 proyek listrik pedesaan. Dana yang dibutuhkan berkisar antara 1 sampai 10 miliar Rupiah, tergantung dari seberapa besar kapasitasnya. Dana tersebut biasanya Puni dapat dari hibah atau lembaga sosial luar negeri yang bersedia membantu.

Proses pembangunannya dijalankan secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Dari mulai mencari desanya, merancang, dan menyiapkan masyarakatnya. Masyarakat diwajibkan untuk koperasi atau lembaga semacamnya sebelum proyek pembangkit berjalan karena nantinya kepemilikian pembangkit berada di tangan masyarakat dan mereka juga harus ikut terlibat dalam proses pembangunannya.

Dalam setiap proyeknya, Puni selalu membagi 2 tim kerja; tim sosial dan tim konstruksi. Tim Sosial bertanggungjawab pada hal-hal yang terkait dengan kemasyarakatan, sedangkan tim konstruksi bertugas membangun pembangkit. Butuh waktu 6 hingga 9 bulan bagi tim sosial untuk mempersiapkan masyarakat, menyadarkan kepada mereka betapa pentingnya membayar tarif listrik, dan melatih mengoperasikan pembangkit. Membangun pembangkitnya sendiri membutuhkan waktu 1 tahun.

“Proses seperti itu bisa terjadi kalau kita live-in. Tinggal bersama masyarakat. Makanya konsep live-in itu menjadi syarat mutlak untuk proses pembangunan yang kami jalankan. Saya tidak mau menjalankan proses yang dijalankan oleh pemerintah. Mereka datang, membangun dengan dana APBN, kalau rusak nanti  membangun lagi. Itu namanya proyek berkelanjutan, proyeknya selalu ada, bukan pembangunannya. Seharusnya kan masyarakat juga dididik untuk bisa merawat fasilitas yang sudah dibangun,” terang Puni.

***

Listrik hanya menjadi alat, karena tujuan akhir dari kegiatan membangun yang Puni lakukan adalah memberikan akses yang sama terhadap ekonomi dan informasi, yang berujung pada kemakmuran bagi siapapun. Begitu masyarakat di pedesaan sudah memiliki listrik, yang dituju adalah bagaimana caranya agar kegiatan perekonomian di desa itu bisa terus dilakukan sehingga masyarakat mendapatkan income dan kesejahteraan.

Puni menyebut konsepnya ini sebagai bisnis sosial, di mana setiap individu yang terlibat melakukan kegiatan produktif yang disenangi dengan kesungguhan hati. Jauh berbeda dengan kegiatan perekonomian yang Puni rasakan di Indonesia saat ini, dimana kegiatan ekonomi yang terjadi kental dengan unsur pengumpulan modal, mencari keuntungan, dan menyimpan sebanyak-banyaknya. Bukan sebuah kegiatan yang digunakan untuk menciptakan kemakmuran bersama-sama.

“Jika desa itu berhasil membangun sebuah pembangkit listrik dengan kapasitas 1 MW saja, lalu listriknya dijual ke PLN, maka desa akan memiliki pemasukan sebesar 300 juta rupiah per bulan. Anda bisa bayangkan desa tersebut akan bisa berkembang seperti apa? Bisa membuat rumah sakit yang terbaik, sekolah yang bagus, dan lain-lain. Itu mudah diwujudkan jika pemerintah mau membuat aturan,” jelas Puni ketika ditanya kenapa ia tetap bertahan bersama IBEKA selama bertahun-tahun.

Namun perjuangannya tidak mudah. Banyak hambatan yang harus dilalui meski tujuan jelas untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Kini, banyak lokasi yang memiliki potensi pembangkit listrik sudah dibeli oleh pihak swasta, bahkan ada orang asing di belakangnya. Perusahaan swasta itu pun menjual listriknya ke PLN. Uangnya? Jelas mereka yang menikmati, bukan masyarakat desa. Hal inilah, yang menurut Puni, merupakan akar permasalahan dari lahirnya kemiskinan. Kemiskinan terjadi karena masyarakat dipisahkan dari sumber daya alam yang ada di sekitar lingkungan hidupnya.

“Dulu founding fathers kita ingin negara ini dibangun atas asas gotong royong. Sekarang ini malah berubah menjadi asas kapitalistik dimana orang berlomba-lomba mengakumulasi modal sehingga seringkali mengorbankan aspek keadilan dan banyak juga mengorbankan kepentingan orang lain. Atas dasar apa satu orang di negara ini bisa menguasai sekian ratus ribu hektar hutan? Sementara rakyat mau bertani saja tidak memiliki lahan. Global poverty occured due to disconnection  with the local resources and local community,” pungkasnya.

***

Small step, but meaningful. Inilah yang selalu menjadi keyakinan Puni dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Melangkah dengan penuh keyakinan bahwa ia mampu berkontribusi menyejahterakan bangsanya sendiri. Ketika Indonesia sedang mengalami krisis pemimpin yang bisa mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sosok Puni bisa membantu kita mengingat kembali apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Kebutuhan akan pemimpin yang memiliki visi, memiliki orientasi “what is the best for my people”, bukan “the best for my family or for my group”.

“Semua rintangan bisa dihadapi. Saya rasakan sendiri, bagaimana saya tidak memiliki resources apa-apa, hanya keyakinan bahwa orang-orang di Sumba harus memiliki jaringan listrik. Nah, ketika saya ke Eropa untuk mencari bantuan dana, saya mendapatkan banyak kemudahan. Ketika pergi ke Jepang, tiba-tiba saya bertemu dengan seseorang yang mau membantu menyumbang. Semua tergantung seberapa besar keyakinan dan niat kita dalam membangun bangsa ini,” tegasnya ketika akan mengakhiri wawacara.

Dalam sebuah artikel pendek yang berjudul “Surat Untuk Generasi Muda Indonesia”, ia pernah menulis: Mimpilah seindah-indahnya, mulailah melangkah dengan langkah kecilmu, tapi kamu harus cepat dan cekatan. Hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bicara saja, berangan-angan saja, namun lakukanlah sesuatu yang kongkret. Make things happen. Bekerja keraslah, berdisiplinlah dan jadilah bagian dari bangsa Indonesia yang berjaya dan berdaulat.    


No comments:

Post a Comment